Friday, February 24, 2006

“BERTEMU DENGAN DIA YANG MENCINTAIKU”

(Belajar Berdoa bersama dengan St. Theresia dari Avila)

1. INTERIORITY DAN EXTERIORITY.
a). Merumuskan masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita menjumpa orang-orang yang dalam kehidupan meng-gerejanya atau keagamaannya nampak begitu luar biasa, nampak begitu saleh, tekun berdoa namun dalam kehidupan kongkritnya sangat kontras atau bertentangan dengan iman yang diyakini. Atau mungkin juga orang berjubah yang menghabiskan waktunya berdoa berjam-jam, namun tidak pernah omong dengan teman serumah berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Atau kita jumpai orang yang baru keluar dari rumah ibadat, tetapi setelah keluar pagar gereja atau masjid merusak dan membuat kekacaun. Ada institusi Katolik yang serba 'the best' dalam segala aktivitasnya, namun sedikit sekali memberi nilai luhur ajaran Kristiani yang menjadi lebel institusinya. Malah sering kali terjadi institusi ini menjadi tempat bisnis yang akhirnya menciptakan dunia menjadi serba tidak adil, mengabaikan orang miskin, menindas orang kecil dan menciptakan orang-orang kaya yang berjiwa rakus.
Dalam situasi seperti ini orang bertanya apa hakekat dari sebuah agama. Apa yang salah dengan agama? Perlukah suatu agama, kalau kenyataannya tidak memberikan nilai positif dalam kehidupan manusia, bahkan sebaliknya. Atau lebih lanjut orang akan bertanya secara lebih kongkrit, perlukan orang masih berdoa, ke gereja kalau kenyataannya hidupnya sangat berbeda dengan iman yang diyakini. Atau lebih tajam lagi apakah doa itu ada gunanya? Apa dan siapa yang salah?
Dari pertanyaan hakiki ini, muncul berbagai reaksi. Secara negatif sekolompok orang mengganggap bahwa agama itu tidak lain adalah 'racun masyarakat' yang membuat manusia tidur dan mimpi. Mereka tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang menderita, namun dinina-bobokan dan diiming-imingi dengan dunia indah diakhirat nanti. Secara positif orang berusaha untuk menjadi lebih reflektif, mempertanyaan dan mempertanggung-jawabkan imam dan perbuataannya. Mereka mencoba untuk mencari sumber masalahnya. Apa dan siapa yang salah, agama, pembawa agama, dan ajarannya atau penganut agama yang menjalankan nilai asli dari agamanya itu? Bukan agama yang membuat semua menjadi seperti ini, melainkan pelaku, penganut agama itu yang membuat nilai asli agama menjadi kabur.

b). Exteriority dan Interiority
Untuk mempertegas pernyataan dan pertanyaan esensial ini, kita bisa mengambil contoh kehidupan Mother Theresa. Sebagaimana anda ketahui bahwa Mother Theresa ibu bukan hanya monopoli milik orang Katolik, tetapi milik semua orang India. Baik Hindu, Islam, Budha dan Kristen menerima dia sebagai 'figur orang suci' yang hidup. Lalu apa yang menjadi kekuatan atau rahasianya sehingga beliau bisa diterima oleh semua agama dominasi di India. Apa yang telah dia lakukan sehingga dia mampu menembus dinding-dinding tembok keangkuhan yang bernama agama dan ajarannya?
Menggunakan 'term penilaian' agama Hindu, dikatakan bahwa rahasia yang dimiliki oleh Mother Theresa adalah harmonisasi antara iman dan penghayatan. Dia bisa mengkobinasikan dengan tepat antara aspek 'exteriority dan interiority' dari sebuah agama yang diyakini. Yang dimaksud dengan exteriority di sini adalah wujud kongkrit dari sebuah agama dalam kehidupan sehari-hari. Atau perwujudan nilai agama dalam aktifitas yang kongkrit dalam kehidupan masyarakat. Hal ini misalnya nyata dalam 'charitable, educational institution'. Atau dalam arti yang lebih personal nampak dalam tingkah laku moral dan sosial. Sedangkan aspek kedua adalah 'interiority' yakni suatu proses dalam mana 'atman' atau jiwa yang semakin mengalami kedalaman hati dan menemukan serta memahami jati dirinya dan semakin bertemu serta bersatu dengan Tuhan yang dicintainya. Dan proses penemuan dan persatuan dengan Tuhan yang mencintai ini nampak dalam kehidupan doa dan ungkapan-ungkapan liturgi lainnya. Dalam kontek 'interiority' penganut agama akan mengalami Allah sebagai 'teman dari semua manusia'. Allah sungguh dialami sebagai Allah yang dekat, Allah yang ada dalam kehidupan manusia dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Allah yang ter-internalisasi-kan dalam jiwa ini memjadi dasar atau motivasi yang murni dari segala aspek yang nampak.

c). Bila tanpa doa
Yang menjadi masalah dalam jaman modern sekarang ini adalah bahwa banyak penganut agama yang sebenarnya kurang mengerti dan memahami aspek interiority ini. Dengan kata lain banyak dari kita yang tidak tahu persis makna dan artinya berdoa, sehingga yang terjadi bahwa doa tidak mempunyai effek atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-sehari. Yang terjadi adalah konflik dua kubu, seolah-olah antara kehidupan doa dan kehidupan dunia ini dua kutub yang tidak pernah bisa dipersatukan. Maka bisa jadi orang yang baru saja keluar dari rumah ibadat, berdoa satu dua jam, namun keluar dari situ merampok, merampas bahkan membunuh atas nama Tuhan. Atau mengakui diri orang Katolik tetapi kehidupan imannya 'ko thelek', (panas-panas tahi ayam). Banyak diantara mereka yang kurang memahami jati diri iman kekatholikkannya. Atau bila dia seorang imam, dia adalah orang 'yang asal jadi imam' dan bukan 'imam yang sungguh jadi'. Orang yang hanya 'jarkoni' dalam kotbahnya, artinya bisa ngomong tetapi tidak bisa menjalankannya. Maka tidak mengherankan bila seorang bernama Mahatma Gandhi pernah berkata "Aku kagum terhadap ajaran Jesus Kristus, tetapi sayang bahwa ajaran yang mulia itu justru dinodai sendiri oleh para mengikutiNya".
Agama tanpa disertai penghayatan aspek interiority, akan menjadi agama yang menindas, yang digunakan dan dimanipulasi oleh kelompok tertentu sebagai alat politik belaka. Agama tanpa spiritualitas, tanpa doa tidak lebih dari sekedar kelompok sosial yang mengklaim dirinya sebagai agama yang diwahyukan oleh Allah. Dan akan mengklaim diri sebagai Agama yang paling benar. Charitable, educational institution tanpa doa, tanpa spritualitas tidak bedanya dengan lembaga sosial atau perusahan yang mencari untung dengan menggunakan lebel dan nama agama. Mereka selalu menjadi 'the best', bukan karena nilai-nilai yang ditawarkan dalam pendidikan, tetapi karena mereka mempunyai segala sumber daya untuk mengembangkan usahanya, yaitu uang. Dengan uang segala menjadi mungkin, kesuksesan menjadi sangat mudah dicapai.
Kegiatan liturgi, ibadat dan segala ungkapan ritual agama akan menjadi semacam panggung sadiwara dan umat menjadi penontonnya yang baik, bila tanpa dilandasi oleh doa. Keluar dari gedung Gereja atau rumah ibadat tidak bedanya dengan orang yang keluar dari panggung pertunjukan. Ketika mereka kembali ke alam nyata, mereka kembali ke irama hidup seperti semula. Apa yang disaksikan dalam panggung drama, tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena mereka hanya penonton yang tidak terlibat. Mereka sekedar penggembira yang senang dan puas bila kebutuhan emosinya terpenuhi. Doktrin, ajaran resmi bila tanpa doa, tanpa spiritualitas tidak lebih sekedar hukum rumusan mati, peraturan yang tidak bisa diganggu gugat yang membuat penganutnya menjadi robot-robot dan monster hidup yang rela dan berani mati, tetapi tidak tahu apa yang dibelanya sampai mengorbankan hidup itu. Mereka menjadi fanatik buta. Bila semua sudah diatas namakan "Tuhan' maka hukumnya 'halal' dan sungguh mulia dan benar. Mereka menjadi tidak mampu melihat ada kebenaran dan keutamaan dalam agama dan orang lain.
Akhirnya iman tanpa penghayatan adalah mati. Orang yang beriman tetapi tidak mewujudkan imannya dalam hidup dan dilandaskan pada doa sebagai inti kehidupan imannya akan membuat orang ini menjadi munafik yang paling pinter main sandiwara. Nampak begitu saleh, takwa, taat, namun hatinya tidak lebih bersih dari kuburan yang dicat putih. Kehidupan hariannya, perbuataan baik yang dilakukan, tidak dilandasi oleh iman yang diyakini, tetapi sekedar show off, pamer untuk mendapatkan pujian dan nama, bahwa orang ini baik. Mereka menjadi sombong, mereka menjadi angkuh mengklaim dirinya sebagai yang paling suci, penuh dengan roh kudus, namun sikapnya terhadap saudaranya sendiri, mereka yang miskin, mereka yang kecil, tidak lebih dari seorang tuan besar yang selalu minta dilayani. Bahkan sering kali menindas dan memeras orang kecil yang sudah dengan setia melayaninya dua puluh empat jam tanpa istirahat, dengan imbalan gaji yang lebih dari cukup, atas nama anggota 'keluarga sendiri'.
Begitu pentingkah doa itu, sehingga seolah-olah segalanya menjadi tanpa arti bila tanpa didasari oleh doa. Lalu doa itu sendiri apa...? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan sambung dalam tulisan selanjutnya.

1 Comments:

At 12:34 AM, Blogger soni said...

terima kasih,,,,beberapa tulisan utuk meditasi ini sungguh bermanfaat buata sya yang baca, minta tolong doain sya dalam menjalani hidup ini. by soni lani

 

Post a Comment

<< Home