Sunday, March 05, 2006

MEMBUAT TANDA SALIB

Menurut iman katolik gerakan membuat tanda salib pada seseorang, atas Sesuatu atau tempat mengungkapkan hubungan antara orang-orang Kristen dengan Allah dan memohon supaya relasi ini tumbuh menjadi semakin dalam. Maka gerakan membuat tanda salib ini menjadi bagian penting dalam perayaan sakramental dan berbagai macam ritual kristiani yang lain. Dari beberapa bukti yang bisa ditelusuri, terutama sejak awal abad ke dua, menandai badan seseorang dengan tanda salib sudah merupakan bentuk devosi Kristen. St. Blasius menyebutkan bahwa kadang kala orang Kristen menandai diri dengan tanda ini di dahi mereka, lalu dalam pekembangannya menunjuk pada dada atau mata mereka, ada pula yang menggunakan dengan hosti suci. Dan pada sekitar abad ke lima mereka menandai badan bagian atas dengan tanda salib. Menanggapi bidaah yang berkembang pada abad ke enam, ada suatu kebiasaan membuat tanda salib ini dengan menggunakan dua jari. Hal ini mengungkapkan keyakinan mereka akan Jesus Kristus sebagai Allah, tetapi juga benar-benar manusia. Tetapi ada pula yang membuat tanda salib dengan menggunakan tiga jari, hal ini mengungkapkan akan keyakinan mereka akan Tritunggul, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Sedangkan di Gereja Barat kebiasaan membuat tanda salib baru menjadi kebiasaan dalam Gereja setelah muncul anjuran dan Paus Innocentius III pada abad ke tiga belas. Kebiasaan membuat tanda salib dengan tiga jari dan menyentuh bahu kiri dan kemudian bahu kanan menjadi bagian dari ungkapan iman umat. Dalam perkembangannya, tidak hanya menggunakan tiga jari, tetapi dengan tangan terbuka dari kepala, dada, lalu ke bahu kiri dan kanan menjadi praktek ritual dalam Gereja. Membuat tanda salib juga menjadi suatu kebiasaan dalam beberapa bentuk ibadat Kristiani, paling tidak sudah ada sejak abad ke tiga. Misalnya Uskup Hypolitus pada th 215 selalu menandai dengan tanda salib pada dahi para warga kristiani yang baru diterima sebagai anggota Gereja. Akhirnya sebelum abad ke 9, dalam pertemuan para uskup, mereka menentukan suatu rubrik bagi para imam untuk membuat tanda salib atas persembahan dalam Misa dengan jempol dan dua jari terbuka. Para ahli tidak tahu persis kapan formula trinitas menyertai dalam membuat tanda salib masuk dalam tradisi katolik. Yang mereka yakini bahwa rumusan paling tua yang menyertai tanda salib adalah rumusan Trinitas. walaupun di Gereja Timur mereka memakai rumusan yang lain juga. Menandai dahi, bibir dan hati dengan tanda salib kecil dengan jari jempol mengungkapkan keyakinan dan niat mereka untuk membuka pikiran dan budi terhadap Sabda Tuhan, untuk mewartakan Sabda dan menyimpannya dalam hati. Sementara itu, Gereja-gereja Reformasi menghilangkan kebiasaan ini, karena mereka ingin mengurangi segala bentuk pengulangan yang terjadi dalam upacara mereka. Demikian pula yang terjadi dalam Gereja Katolik, terutama dengan lahirnya Konsili Vatikan II, mereka menghendaki untuk menghilangkan atau mengurangi tambahan-tambahan dan hiasan-hiasan yang tidak perlu yang akhirnya mempunyai tendensi justru mengurangi inti tindakan dari perayaan itu sendiri.
In Christ Teja Anthara SCJ Aluva, India

MENGUKUR KEDEWASAN ROHANI

Dalam kehidupan iman, sering kali kita dibingungkan oleh adanya fenomena yang kadang kala aneh tetapi nyata. Misalnya, kita melihat adanya orang kristiani yang begitu rajin ke Gereja, rajin mengikuti pendalaman rohani atau persekutuan doa, rajin berdoa dan membaca, bahkan Gereja dan paroki menjadi rumahnya yang kedua. Namun dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan sehari-hari kurang mempunyai 'hati' terhadap sesamanya. Bahkan mereka sering dicap sebagai orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada sesamanya. Sebaliknya, kita jumpai pula orang-orang kristiani yang dalam hal menjalankan iman jarang pergi ke gereja, tidak pernah ikut kegiatan lingkungan, tidak pernah membaca alkitab dan bahkan tidak pernah berdoa sama sekali. Namun orang ini begitu baik terhadap sesamanya. Suka membantu sesama yang menderita, menolong mereka yang kesusahan dan juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan. Pertanyaan kita bisa muncul, mana yang benar, mana yang tepat. Mana yang mesti kita pilih, yang pertama atau yang kedua? Saya tidak akan menjawab mana yang tepat atau mana yang benar, melainkan mau mengajak rekan-rekan untuk melihat diri kita masing-masing. Yang ingin saya angkat melihat fenomena ini adalah sejauh mana kehidupan sehari-hari saya mencerminkan pula kehidupan iman saya. Atau sejauh mana saya dewasa dalam rohani. Apakah kedewasaan rohani itu bisa diukur?. Bila bisa apa yang bisa kita gunakan untuk mengukur kedewasaan rohani. Bukankah masalah iman merupakan masalah yang sangat pribadi. Masalah relasi antara saya dengan Allah. Lalu siapa yang bisa mengukur apakah saya sungguh beriman atau dewasa dalam menghayati iman atau belum? Yang bisa mengukur kedewasaan adalah saya pribadi. Hal ini memang benar, karena itu bukan hanya soal olah rohani belaka, tetapi juga soal perwujudan, maka kedewasaan rohani bisa diukur dari sisi motivasi, tetapi juga perwujudannya. Kita meyakini bahwa 'iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati'. Menurut para ahli spiritualist, kita bisa mengukur kedewasaan rohani kita dari beberapa indikasi ini.
1. Adanya keinginan kuat atau kerinduan hati yang teguh untuk menjadi 'suci' dari pada sekedar mengalami kebahagiaan sementara dalam hidup.
2. Mempunyai keutamaan untuk selalu berkeinginan memberi dan memberi dari pada menerima dan diberi atau bahkan menuntut.
3. Selalu merasa mendapat kehormatan bila diberi kesempatan untuk melayani dari pada dilayani.
4. Selalu mengalami kebahagian dalam kehidupan pribadi, baik lahir mau pun batin.
5. Selalu merasa terberkati, selalu merasa bersyukur atas karunia yang telah diterima, dari pada selalu merasa kurang dan ingin memiliki lebih dari apa yang diperlukan.
6. Mampu menerima segala sesuatu dengan sikap 'apa adanya' 'nrima ing pandum' dari pada mengikuti ambisi untuk memiliki segalanya dan menuntut orang lain untuk menjadi sama seperti dirinya.
7. Selalu hidup dalam dunia kasih, segala sesuatunya diukur berdasarkan kasih. Inilah indikasi yang bisa digunakan untuk mengukur apakah saya sudah merasa mencapai 'kedewasaan rohani', sesuai dengan iman kristiani yang saya yakini. Kasus diatas tidak akan pernah terjadi bila kita merasa yakin bahwa saya selalu berusaha berada dalam jalur tujuh indikasi ini. Apakah menjadi suci sungguh merupakan kerinduan setiap manusia. Apakah Allah menghendaki kita menjadi suci atau....? Jawabannya ada dalam hati kita masing-masing, tetapi bila kita kembali kepada undangan Jesus sendiri yakni "Jadilah engkau sempurna seperti Bapa sempurna adanya", maka kita akan mengangguk bahwa kesempurnaan hidup, atau kesucian adalah merupakan tujuan akhir setiap orang yang mengakui diri sebagai murid Kristus. Karena pada hakekatnya Tuhan memanggil kita untuk menjadi suci. Ukuran kesempurnaan rohani kita adalah 'untuk menjadi seperti Kristus' dalam segala aspek kehidupanNya. Semoga renungan kecil ini berguna. Selamat berhari Minggu.
In Christ.
Teja Anthara SCJ