Friday, February 24, 2006

Meditasi ala St. Theresia

Berdasarkan pada pengertian bahwa doa adalah mencinta, memandang penuh kasih Tuhan yang disurga, bertemu penuh akrab dan persaudaraan dengan Dia, yang kita tahu mencintai kita. Maka Theresia menganjurkan tiga hal pokok dalam bertemu dengan Dia yang mencintai dan kita cintai.
a). A going in
Artinya bahwa doa adalah usaha untuk semakin mendalami dan masuk dalam diri kita sendiri. Berusaha untuk terus masuk dan menyentuh pusat hati, inti dari diri kita. Mengabaikan segala kecenderungan egoisme pribadi untuk bertemu dengan 'Sang Jiwa Mulia' dalam pusat jiwa kita. Perjumpaan dengan Allah dalam diri kita ini mengandaikan bahwa kita sadara bahwa Allah hadir dalam pribadi kita. St. Paulus mengatakan bahwa badan kita adalah 'bait kudus Allah', tempat Allah bersemayam dalam diri manusia. Dan bagi kita, setiap kali Tuhan hadir ditahtaNya dalam hati kita, terutama menjadi nyata ketika kita menerima kehadiranNya lewat kumuni kudus. Kehadiran dan persatuan dengan Allah menjadi semakin kongkrit dan terus diperbaharui. Namun yang sering terjadi bahwa kehadiran Allah sering kali kita abaikan. Kita jarang memberi sambutan 'welcoming' Allah dan menyapaNya sebagai tamu istimewa. Hati kita dipenuh dengan berbagai macam urusan yang membuat kita tidak mampu menyadarinya. Allah sendirian dan diabaik. A going in berarti bertemu dengan penuh persahabatan dengan Allah yang hadir dihati kita. Menyambutnya dan menjadikan Dia tamu istemewa. Keheningan diri adalah syarat utama untuk bisa merasakan Allah yang mencintai ini hadir. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membuat Allah merasa krasan tinggal dihati kita. Membuat perjumpaan itu menjadi akrab dan menyenangkan?
b). A staying in
Supaya Allah tetap 'staying in' dalam hati kita maka kita harus berbicara. Berbicara sebagaimana dengan orang yang sungguh kita kenal, orang yang kita cintai. Bandingkan dengan pengalaman anda, bila anda bertemu dengan orang yang sungguh anda kenal, orang yang anda cintai. Banyak hal yang bisa kita bicarakan, dari peristiwa hidup sehari-hari sampai hal-hal yang sangat rahasia dan penting. Mengapa hal itu bisa terjadi, karena keakraban relasi itu membuat kita saling percaya. Ada 'trust-trust worthy', sehingga kita merasa tidak takut, malu, atau segan. Kepercayaan (baca iman) membuat kita menjadi berani terbuka dan apa adanya. Kepercayaan membuat kita berani menyerahkan segala-galanya kepadaNya.Bila kita kenal maka kita tidak sayang. Bila kita tidak kenal, kadang kala kita tidak tahu apa yang harus kita bicarakan. Lalu apa yang harus saya bicarakan kepada Tuhan dalam perjumpaan ini. Jawabannya adalah simple dan singkat, segala hal yang kita alami dalam hidup ini. Segala masalah hidup, dari yang sepele sampai yang essensial. Dari ungkapan rasa kecewa, marah, putus asa sampai rasa gembira, damai dan bahagia. Sesuatu yang sungguh menyentuh dan menyangkut sendi-sendi kehidupan anda mendasar, hakiki. Inilah yang harus kita bicarakan, bukan hanya datang kalau minta sesuatu, kalau tidak diberi lalu marah dan putus asa, dan akhirnya tidak pernah kembali lagi.
c). A coming out
Seringkali kita mendapat pertanyaan apa ukurannya bahwa doa itu baik. Atau bagaimana kita bisa mengatakan bahwa doanya itu benar. Banyak jawaban yang bisa kita dapatkan dengan mengambil contoh ayat dari Kitab Suci. Namun bagi St. Theresa, apakah doa itu dikatakan benar atau bai, sangat ditentukan oleh apa yang 'coming out' dari doa itu. Yang penting adalah bahwa doa harus selalu membawa buah dalam kehidupan nyata. Harus nampak dalam perbuatan yang nyata. Doa tanpa buah nyata, hanyalah rumusan kata tanpa arti. Menurutnya ada tiga hal untuk melihat aspect coming out dari doa ini.
Pertama adalah bahwa doa harus terwujud dalam charity. Kepekaan untuk membantu, menolong mereka yang miskin dan menderita, merasa solider dan bahkan berani berkorban bagi mereka sungguh merupakan hasil dari doa. Cinta kepada Allah yang lebih dahulu telah mencintainya, tercermin dan terungkap dalam cinta kepada sesama yang membutuhkan. Dalam diri orang-orang kecil dan lemah ini seorang pendoa yang sejati akan mampu melihat kehadiran Allah dalam hidup mereka. Setiap tindakan charity, atau belas kasih dilandasi bukan oleh karena dia merasa lebih, mempunyai segalanya dan merasa 'kasihan' kepada penderitaan mereka. Tetapi didasarkan pada kesadaran bahwa mereka adalah saudaraku, Allah hadir dalam diri mereka. Maka apa yang mereka perbuat kepada mereka yang kecil dan menderita dilakukan demi nama Allah. Sebagai saudaraku, mereka juga berharap mendapatkan kasih karunia dari Allah sama dengan yang saya dapatkan. Keinginan hatinya adalah melayani Allah sejauh bisa dilakukan.
Yang kedua adalah 'detachment'. Seorang pendoa yang sejati tidak akan mempunyai perasaan 'lekat terhadap segala ikatan duniawi'. Dia merasa lepas bebas dari segala ambisi dan sifat rakus untuk memperkaya diri dan memiliki harta dunia bagi dirinya sendiri. Baginya dunia dan segala harta milik merupakan karunia Allah yang harus dimanfaatkan dan digunakan untuk semakin menyempurnakan hidupnya. Seluruh orientasinya adalah 'dunia akhirat dan surga'. Karena mereka tidak lekat dengan keterikatan duniawi, maka mereka juga akan sangat dermawan dan murah hati.
Akhirnya, yang ketiga adalah 'humility’ atau kerendahan hati. Prinsip seorang pendoa sejati adalah 'without Me you can do nothing'. Andalan hidupnya adalah Allah, maka dia pasrah dan sumarah. Mereka tidak pernah merasa kuatir dan diakuasi oleh kebutuhan sesaat. Kepasrahannya kepada Allah membuat mereka selalu optimis dan penuh harap. Usahanya adalah terus menurus untuk memahami kehendak Allah. Dia tidak akan pernah memegahkan diri. Mereka akan semakin solider dan memahami orang lain secara lebih tepat. Orang akan tumbuh semakin bijak dan kebijaksanaannya terpancar dalam tindak-tanduknya. Mereka bagaikan padi, semakin tua semakin merunduk berisi dan menguning, siap dipanen. d). Budaya cinta Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini membuat banyak orang menjadi resah. Mereka tidak merasa aman lagi. Irama kehidupannya selalu teracam oleh tindak tanduk sekelompok orang yang menebarkan teror diantara sesamanya. Damai dan cinta kasih yang didambakan oleh setiap insan menjadi semakin mustahil tercipta dibumi Nusantara ini. Konflik yang menggunakan kedok agama, merupakan suatu bentuk kegagalan agama mendidikan para penganutnya. Mungkinkah menciptakan damai kembali dalam suana konflik tajam yang memakan korban ribuan jiwa ini?. Bisakah luka hati, trauma dan kekecewaan yang mendalam ini terobati? Manusia, bila hanya mengandalkan diri dari usahanya sendiri kiranya tidak akan mampu. Namun demikian kita harus mencoba.
Saya merasa bahwa tawaran doa dari St. Theresia ini adalah salah satu alternatif bagi kita yang ingin menjadi pembawa damai bagi sesama. Damai dan cinta kasih sulit akan tercipta, bila kita sendiri tidak memulainya. Berdasar pada ‘pengalaman cinta’, akan Allah yang dirasakan dalam hidup, cinta yang sama ini juga akan memancar dalam kehidupan sehari-sehari. Bila setiap orang Kristiani menciptakan budaya cinta dalam dirinya, maka dia akan bagaikan ragi, garam dan terang yang mengolah, memberi rasa dan melezatkan persaudaraan sejati antara sesama insan ciptaanNya. Seorang pembawa damai, harus lebih dahulu berdamai dalam dirinya sendiri. Dia tidak akan pernah bisa menjadi pembawa damai dan kasih, bila tidak mencintai dirinya sendiri. Pengalaman akan Allah yang mencintai, perjumpaan denganNya yang penuh kasih merupakan motivasi dasar yang mampu merubah dunia menjadi serba baru. Maka marilah kita mulai dari diri kita dan menjadikan doa sebagai landasan kita untuk melangkah. Dengan harapan kita mampu merubah dunia kita, paling tidak dunia batin kita akan mengalami kedamaian dan penuh kasih. (India, January 1, 2001)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home